5 Strategi Social Media yang Lagi Naik Daun di 2025 (dan Kenapa Brand Besar Sudah Coba Duluan)

Tren di dunia social media itu kayak roller coaster: cepat banget berubah, dan kalau brand nggak siap, bisa langsung ketinggalan momentum. Tapi di tengah semua update algoritma, muncul platform baru, dan perubahan perilaku audiens, ada satu hal yang tetap: cerita yang bagus selalu menang.
Itulah kenapa 2025 jadi tahunnya smart social storytelling, strategi di mana brand bukan cuma ikut tren, tapi tahu cara bikin audiens peduli.
Dari riset tren digital marketing terbaru dan hasil campaign lokal yang sukses, berikut lima strategi social media yang lagi naik daun tahun ini dan kenapa brand besar di Indonesia udah duluan nyobainnya.
1. Authentic Storytelling: Dari Estetika ke Emosi
Beberapa tahun lalu, banyak brand masih sibuk bikin feed Instagram yang serba rapi. Tapi sekarang, realness jauh lebih penting dari aesthetics.
Audiens 2025 udah capek sama visual yang terlalu “polished”, mereka pengen cerita yang jujur, relate, dan punya hati.
Contohnya?
Kampanye “GoFood 10 Tahun: Cerita di Balik Setiap Pesanan” dari Gojek sukses karena bukan cuma nunjukin promo, tapi menghadirkan kisah manusia, dari driver yang mengantar pesanan hingga pelanggan yang ketemu comfort food-nya.
Video dan micro-content yang muncul di TikTok dan Reels terasa nyata, kayak potongan kehidupan sehari-hari.
Dan di balik layar, tim kreatif Gojek tahu betul: emosi adalah algoritma terbaik.
Strategi yang bisa ditiru:
- Gunakan format behind the scene atau “cerita kecil di balik brand”.
- Libatkan tim internal atau user nyata dalam konten.
- Jadikan audiens bagian dari cerita, bukan sekadar penonton.
Sagensie sering melihat, brand yang tahu cara “bercerita” dengan jujur di social media bisa membangun koneksi yang lebih tahan lama dan engagement mereka bukan cuma angka, tapi hubungan.
2. Micro-Storytelling di Video Pendek
Kalau dulu video marketing itu identik sama YouTube berdurasi 3–5 menit, sekarang semua mata lagi ke format pendek: TikTok,Instagram Reels, dan YouTube Shorts.
Tapi bukan berarti durasi singkat bikin cerita ikut dangkal.
Justru di 2025, brand besar belajar gimana bikin micro-storytelling yang padat tapi berkesan.
Misalnya, Tokopedia dalam kampanye #MulaiAjaDulu versi TikTok: 15detik yang terasa kayak nonton film pendek dan ringkas, tapi emosional.
Yang mereka lakukan adalah membangun series, bukan sekadar video satuan. Cerita nyambung antar konten bikin audiens penasaran, nunggu episode selanjutnya, dan akhirnya merasa jadi bagian dari narasi brand.
Tips implementasi:
- Pikirkan video pendek sebagai chapter dari satu cerita besar.
- Fokus di satu pesan per video.
- Tutup dengan emotional hook biar orang stay di akunmu.
Audiens sekarang bukan butuh hiburan kosong, tapi mereka mencari makna dalam waktu 15 detik. Dan di sanalah peran agensi kreatif kayak Sagensie penting: merangkai cerita pendek yang tetap punya impact panjang.
3. Social Personalization: Feed Setiap Orang, Cerita yang Berbeda
Dengan algoritma yang makin pintar (dan makin selektif), 2025 bukan lagi soal siapa paling sering posting, tapi siapa paling relevan.
Brand yang menang di media sosial adalah yang bisa membuat orang merasa, “ini konten buat gue.”
Contoh paling menarik datang dari Indomie. Mereka nggak cuma posting soal produk, tapi juga bikin micro-targeting content di beberapa platform: nostalgia untuk audiens dewasa di YouTube, humor ringandi TikTok, dan postingan hangat keluarga di Facebook.
Satu brand, tapi cerita berbeda disesuaikan sama karakter audiens tiap kanal.
Strategi yang bisa diterapkan:
- Kenali “personality” audiens di tiap platform.
- Buat versi konten berbeda dengan tone yang sesuai.
- Gunakan data insight untuk merancang narasi yang lebih personal.
Di Sagensie, pendekatan ini dikenal sebagai “adaptive storytelling”, bukan cuma menyesuaikan visual, tapi juga emosi dan bahasa sesuai konteks audiens. Karena di dunia yang serba cepat, personalisasi bukan lagi pilihan, tapi kebutuhan.
4. The Rise of Conversational Brand: Ngobrol Bukan Sekadar Promosi
Kalau kamu perhatiin, 2025 jadi tahun di mana brand bukan cuma posting, tapi ngobrol.
Platform kayak Threads dan LinkedIn mulai jadi ruang baru buat brand ngobrol santai — tanpa harus terlalu “jualan”.
Misalnya, Sociolla sukses di Threads dengan gaya ringan, membahas self-love dan skincare tanpa hard-selling. Orang ngerasa bukan lagi baca iklan, tapi ikut diskusi bareng teman yang ngerti mereka.
Di LinkedIn, banyak brand Indonesia juga mulai memanusiakan narasinya: bukan cuma share pencapaian, tapi cerita di balik tim kreatif, proses, atau bahkan kegagalan yang jadi pelajaran.
Transparansi jadi strategi baru, dan ini sangat resonan dengan audiens profesional yang haus keaslian.
Tips untuk brand:
- Gunakan bahasa percakapan, bukan copy formal.
- Respons cepat, tapi tetap dengan tone brand yang konsisten.
- Jadikan media sosial tempat berbagi cerita, bukan hanya mengumumkan sesuatu.
Pendekatan conversational brand ini bikin engagement meningkat bukan karena konten viral, tapi karena hubungan yang organik.
5. From Influencer ke KOL: Kredibilitas Lebih Penting dari Follower
Influencer masih punya tempat, tapi 2025 adalah eranya KOL (Key Opinion Leader). Orang yang mungkin nggak punya jutaan followers, tapi punya pengaruh nyata di komunitasnya.
Contohnya, kampanye “Ngopi Sambil Nonton Bola” dari Kopi Kenangan menggandeng micro KOL yang benar-benar paham dunia sepakbola.
Audiens langsung ngerasa, “ini bukan endorse random, ini obrolan sesama fans.”
Strategi yang dilakukan brand besar:
- Kolaborasi dengan KOL yang punya fit kuat dengan value brand.
- Bangun konten kolaboratif, bukan sekadar “promosi satu arah”.
- Fokus pada authentic endorsement, bukan reach semu.
Pendekatan ini jauh lebih efisien dan sustainable, apalagi kalau digabung dengan storytelling yang relevan.
Semua Kembali ke Cerita
Tren social media boleh berubah, tapi satu hal yang nggak akan pernah basi: cerita.
Brand yang bisa menyampaikan cerita dengan cara yang relevan, manusiawi, dan konsisten di setiap platform akan terus jaditop-of-mind.
Bukan karena budget iklan besar, tapi karena mereka tahu cara membuat orang peduli.
Dan di situlah peran creative agency seperti Sagensie Corporation muncul untuk membantu brand menenun cerita yang nyambung antara konten, karakter, dan komunitas.
Karena di dunia digital yang makin cepat, strategi bukan soal “posting tiap hari”, tapi soal punya narasi yang bertahan lebih lama dari algoritma.
recent news



